[Top][All Lists]
[Date Prev][Date Next][Thread Prev][Thread Next][Date Index][Thread Index]
[Web-trans] info untuk anda kutipan dari KOMPAS
From: |
tolanda |
Subject: |
[Web-trans] info untuk anda kutipan dari KOMPAS |
Date: |
Wed, 10 Nov 2004 14:54:04 +0700 |
Kunci Keberhasilan Penyembuhan Autisime
AUTISME masa kanak sebenarnya bukan penyakit baru di dunia. Penyakit ini, yang
lebih tepat disebut gangguan perkembangan pervasif, sudah ditemukan sejak 1943.
Hanya saja belum banyak masyarakat awam, bahkan dokter, yang mengetahuinya
karena orangtua atau dokter mengira anak hanya mengalami keterlambatan
perkembangan (terutama berbicara) sementara saja.
Anggapan itu tentu saja membuat autisme yang diderita anak semakin parah.
Literatur menyatakan, 75 persen anak autisme yang tidak tertangani, akhirnya
menjadi tunagrahita. Saat ini jumlah penyandang autisme terus meningkat.
Diperkirakan, jumlah penyandang autisme 15 - 20 per 10.000,- kelahiran . Jadi
dari kelahiran 4,6 juta bayi tiap tahun di Indonesia, 9.200 dari mereka
mungkin menyandang autisme.
Autisme infantil atau autisme masa kanak adalah gangguan perkembangan yang
muncul pertama kali pada anak-anak berusia enam bulan hingga tiga tahun.
Seorang anak autistik tidak mampu mengadakan interaksi sosial, dan seolah-olah
hidup dalam dunianya sendiri. Ciri yang sangat menonjol dari penderita autisme
adalah tidak adanya atau sangat kurangnya kontak mata dengan orang lain.
Penyandang autisme bersikap acuh tak acuh bila diajak bicara atau bergurau. la
seakan-akan menolak semua usaha interaksi dari orang lain, termasuk dari
ibunya. la lebih suka dibiarkan main sendiri dan melakukan sebuah perbuatan
yang tidak lazirn secara berulang - ulang. Sebagian kecil penyandang autisme
berhasil berkembang normal, namun sebelum mencapai umur tiga tahun
perkembangannya terhenti, kemudian timbul kemunduran dan mulai tampak
gejala-gejala autisme.
Hingga kini belum diketahui secara pasti penyebab gangguan autisme. Eric
Courchesne dari Universitas California San Diego menemukan, sebagian besar
penyandang autisme mempunyai otak kecil yang lebih kecil dibandingkan ukuran
normal (hipoplasia cerebellum). Pengecilan otak kecil ini terjadi pada masa
janin. Selain berfungsi sebagai pengatur keseimbangan, otak kecil juga berperan
dalam proses sensorik, berpikir, daya ingat, belajar bahasa, dan juga perhatian
(konsentrasi). Hasil otopsi penyandang autisme yang dilakukan para ahli
menunjukkan adanya keganjilan pada sistem limbic (pusat emosi di otak), dan
kurangnya jumlah sel pada lobus parietalis di otak. Akibarnya, terjadi
kekacauan sistem di otak.
Penanganan Austisme
Menurut phisikiater anak-baik yang tergabung dalam Yayasan Autisme Indonesia
yang berkedudukan di Jakarta maupun ahli psikiater anak di RSUD dr. Soetomo
Surabaya-autisme dapat dikurangi kelemahannya. "Walaupun tidak bisa disembuhkan
100 persen, tetapi penyandang autisme dapat dilatih melalui terapi, sehingga ia
bisa tumbuh normal seperti anak sehat lainnya," kata Dr. Rudy Sutadi, Wakil
Ketua Yayasan Autisma Indonesia.
Bila sudah mendapatkan terapi penyandang autisme dapat bersekolah di sekolah
biasa. Bahkan, menurut Rudy, ada penyandang autisme di Amerika yang bisa meraih
gelar Ph.D. Di Indonesia penyandang autisme sudah ada yang bersekolah di SMU
biasa. Walau mereka telah diterapi sehingga bisa bersekolah di sekolah umum,
kadangkala ciri autismenya masih muncul, seperti mengoleksi benda yang tak
lazirn, atau agak pendiam.
Menurut para psikiater, kunci keberhasilan penyembuhan autisme adalah orangtua
dan terapi tata laksana perilaku. Dyah Puspita, seorang ibu yang mempunyai
putra tunggal penyandang autisme juga mengakui bahwa keberhasilan proses
penyembuhan autisme sangat bergantung pada orangtua dan terapi tata laksana
perilaku. "Tidak cukup dan tidak akan berhasil bila kita hanya bergantung pada
ahli terapi saja. Orangtua juga harus terjun. Kalau bisa 24 jam sehari. Kalau
ahli terapi waktunya sangat terbatas. Anak harus dilatih terus- menerus.
Kedengarannya keji. Tetapi, ya harus begitu itu," kata Dyah membagi
pengalamannya.
Apa saja terapinya? Terapi yang dijalani anak harus terdiri dari terapi
medikamentosa (pemberian obat), terapi wicara, terapi okupasi (motorik),
terapi perilaku, dan pendidikan khusus (satu guru satu murid). Menurut Dyah,
metode terapi yang paling efektif untuk anak autisme adalah terapi dengan
metode Lovaas. Metode Lovaas ini pula yang menuntut ikut sertanya orangtua
dalam melatih anak. Keikutsertaan orangtua menangani anak dapat menjalin ikatan
batin yang kuat antara si anak dengan orangtua. Bila sudah ada ikatan batin
anak akan semakin mudah mempelajari sesuatu.
Dyah mengakui, semula ia tidak begitu percaya pada metode Lovaas. la
beranggapan bahwa metode ini sangat rumit, mahal, anak hanya menjalankan
perintah (seperti robot), dan perlakuan terhadap anak serupa dengan melatih
lumba-lumba. Narnun ketika ia mempraktikkan metode ini dalam waktu 10 menit
putranya dapat menguasai tiga keterampilan baru (mengacungkan jempol, menunjuk,
melipat koran).
Metode Lovaas diperkenalkan pertama kali oleh lvar Lovaas Ph.D. Inti dari
metode Lovaas ini sebenarnya bersumber pada modifikasi perilaku (behavior
modification) dan operant conditioning. Metode Lovaas ini hams diajarkan dengan
disiplin, konsisten, dan rutin. Idealnya metode Lovaas diberikan pada anak usia
2-5 tahun, dengan latihan sekurangnya 40 jam seminggu.
Prinsip dasar metode Lovaas adalah mengurangi perilaku yang buruk atau
berlebihan dengan cara memberikan feedback negatif (bisa dengan kata "tidak",
raut wajah kecewa, gelengan kepala, dll). Sementara terhadap perilaku yang baik
diberikan feedback positif, seperti kata "bagus", hadiah, tepuk tangan, peluk
cium, atau kata pujian lain. Pada akhirnya perilaku yang baik akan menggantikan
perbendaharaan perilaku yang kurang pantas.
Tata laksana perilaku menurut metode Lovaas adalah orangtua atau terapis
memberikan instruksi kepada anak. Bila anak langsung bisa mengerjakan instruksi
itu dia diberi imbalan. Jika tidak, ulangi kembali instruksi itu. Bila sampai
tiga kali anak masib belum bisa juga, orangtua/terapis harus memberikan
bantuan. Misalnya, mengarahkan wajahnya bila dipanggil. Begitu terus diulangi
hingga anak mengerti bila dipanggil dia harus melihat yang memanggil.
Tata laksana perilaku mempunyai teknik memecah perilaku atau aktivitas yang
kompleks menjadi bagian yang kecil-kecil. Bagian yang kecil-kecil ini diajarkan
sendiri-sendiri secara sistematik, terstruktur, dan terukur. Untuk instruksi
kompleks seperti, "Ambilkan baju cokelat di atas meja, lalu lipat dengan baik,
dan simpan di lemari," tentu tidak mungkin dikerjakan anak. Apalagi bila ia
belum menguasai konsep "ambil", "lipat", dan "simpan". Selain itu, anak belum
mengetahui konsep baju atau warna.
Para orangtua dan terapis harus meng~jarkan satu per satu pengetahuan itu, lalu
digabungkan dalam rangkaian kecil-kecil. Selanjutnya rangkaian-rangkaian kecil
ini digabungkan menjadi satu kesatuan yang kompleks. Cara pengajarannya antara
orangtua dan terapis harus sama. Ini untuk membantu anak lebih mudah
mempelajarinya.
Pengajaran aktivitas baru dimulai dengan system satu guru satu murid dalam satu
ruangan yang bebas distraksi (pengalib perhatian). Pengajaran dilakukan
berulang-ulang sampai anak berespons sendiri tanpa bantuan {frompi). Baik di
rumah maupun di tempat terapi orangtua/terapis harus pula menyediakan gambar-
gambar atau alat bantu lain yang memudahkan anak belajar. Seperti untuk
mengenalkan buah jeruk, orangtua harus menyediakan buah jeruk dan gambar jeruk.
Ini juga membantu anak mengenal benda dengan dimensi yang berbeda.
Secara bertahap anak dibawa ke kelompok kecil, lalu ke kelompok besar. Anak
dicoba dimasukkan ke sekolah umum. Di kelas mulanya anak didampingi oleh orang
tua/terapis {shadow), yang tugasnya menjembatani instruksi dari guru ke anak,
dan juga membantu respons anak. Shadow mula-mula lekat dengan anak, secara
bertahap jarak semakin diperbesar bersamaan dengan semakin kurangnya intensitas
dan frekuensi prompt.
Setiap hari orangtua harus melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dicapai
anak, sampai detail terkecil. Target perilaku yang bisa dicapai anak harus
ditetapkan secara realistis dan sesuai dengan kemampuan anak. Jangan
menargetkan terlalu tinggi, karena akhirnya akan membuat anak frustrasi dan
kecil hati.
Bila anak berhasil melakukan sesuatu tentu orangtua dan terapis akan semakin
termotivasi mengajarkan sesuatu yang lebih baru lagi. Anak pun menjadi lebih
senang beraktivitas, dan otomatis perilaku yang aneh semakin berkurang, meski
belum sepenuhnya menghilang. Selamat mencoba!
M. Clara Wresti
www.lzzbh.net
www.naolizhibao.net.id
[Prev in Thread] |
Current Thread |
[Next in Thread] |
- [Web-trans] info untuk anda kutipan dari KOMPAS,
tolanda <=